MAKALAH
ANALISIS KEBIJAKAN
PENDIDIKAN TINGGI
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Kebijakan
Sistem Pendidikan
Dosen
Pembimbing :
Dr. Hj. Try
Yuni Hendrowati, M.Pd
Dr. H. Handoko
Santoso, M.Pd
Oleh
:
Nasihudin
Mustofa NPM : 14720030
PROGRAM
PASCASARJANA
MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
METRO
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur penulis
sampaikan kepada Allah swt, karena berkat ridho
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Analisis Kebijakan Pendidikan Tinggi” mata kuliah
Kebijakan Sistem Pendidikan.
Sholawat dan salam senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi
Besar Muhammad saw yang selalu kita nanti-nantikan syafa’atnya
di hari kiamat.
Dalam penyusunan makalah ini banyak bantuan yang penukis
terima. Oleh karena itu, penulis sampaikan ucapkan terina kasih kepada:
1.
Dr.
Hj. Try Yuni Hendrowati, M.Pd
2.
Dr.
H. Handoko Santoso, M.Pd
3.
Semua pihak yang terkait dalam penulisan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik
dan saran masih penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Metro, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL.................................................................................. i
KATA PENGANTAR.................................................................................. ii
DAFTAR
ISI................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 3
C.
Tujuan Penulisan....................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian................................................................................................. 4
B. Pendekatan
Dalam Analisis Pendidikan................................................... 5
C. Paradigma Metodologis Analisis Kebijakan............................................ 6
D. Prosedur Analisis Kebijakan.................................................................... 6
E. Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan Tinggi............................... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 25
B. Saran....................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pendidikan memiliki fungsi yang hakiki dalam
mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi aktor-aktor dalam menjalankan
fungsi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang kependudukan, politik,
ekonomi, ketenagakerjaan, dan sosial budaya. Hubungan antara pendidikan dan
bidang-bidang kehidupan diluar pendidikan, perlu dibahas agar terjadi sinergi
antara sistem internal pendidikan dan faktor eksternal tersebut. Tantangan
eksternal dari sistem pendidikan seharusnya merupakan sumber inspirasi yang
paling utama dalam melakukan perubahan dan pembaruan sistem pendidkan itu
sendiri secara internal. Dengan melakukan kajian terhadap keadaan dan
permasalahan mengenai bidang-bidang kehidupan lain di luar pendidikan, beberapa
permasalahan dan tantangan dalam pembangunan sistem pendidikan akan muncul
kepermukaan. Tantangan masa depan bagi sistem pendidikan di Indonesia tidak
semata-mata menyangkut bagaimana meningkatkkan pendidikan secara internal,
tetapi juga bagaimana meningkatkan kesesuaian pendidikan dengan bidang-bidang
kehidupan lain.
Tuntutan yang paling mendesak dalam memacu
pembangunan pendidikan yang bermutu dan relevan ialah meningkatkan kamampuan
dalam melakukan analisis kebijakan. Para analis kebijakan dalam bidang
pendidikan tidak hanya dituntut untuk menguasai teknik-teknik penelitian dan
pengembangan, tetapi juga dituntut untuk menguasai isu-isu pendidikan yang
relevan, baik isu pendidikan secara internal maupun isu-isu pendidikan dalam
kaitannya secara lintas sektoral. Isu-isu pendidikan secara internal akan
meliputi sistem pendidikan berikut komponen-komponennya yang integral,
seperti isu “pemerataan dan perluasan akses pendidikan, isu
peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, serta isu
penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraaan publik”.
Tiga isu di atas, menjadi isu utama sistem
pendidikan dewasa ini dalam strategi pengembangan sistem pendidikan
2005-2009.(Diknas, 2006: 9)
Isu pendidikan secara eksternal juga penting
untuk terus dikaji oleh para analis kebijakan, menyangkut keterkaitan yang
intergral antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat sebagai stakeholders
pendidikan, dalam berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial
budaya, ketenagakerjaan, dan lingkungan hidup. Penguasaan terhadap isu-isu
pendidikan, baik secara internal maupun eksternal, perlu dibentuk oleh suatu
keolompok analis kebijakan pendiidkan yang memiliki latar belakang pendidikan
secara interdisipliner. Penguasaan teknologi dalam penelitian dan pengembangan
serta isu-isu kebijakan pendidikan tersebut harus senantiasa merupakan kekuatan
yang perlu terus dikembangkan. Hal itu dilakukan agar mampu melahirkan berbagai
gagasan yang berguna dalam upaya menghasilkan alternatif kebijakan dalam
membangun system pendidikan yang efisien, bermutu, dan relevan dengan tuntutan
masyarakat dalam berbagai bidang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Analisis Kebijakan dan Pendidikan
Tinggi?
2.
Bagaimana Pendekatan Dalam Analisis Pendidikan?
3.
Apa Saja Paradigma Metodologis Analisis
Kebijakan?
4.
Bagaimana Prosedur Analisis Kebijakan?
5.
Apa Kebijakan Pokok Pembangunan Pendidikan
Tinggi?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
:
1. Untuk memenuhi kelengkapan tugas
mata kuliah Kebijakan Sistem Pendidikan
2. Memberikan informasi tentang analisis kebijakan pendidikan tinggi
di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
1.
Analisis
Kebijakan
Analisis
kebijakan merupakan suatu prosedur berfikir yang sudah lama dikenal dan
dilakukan dalam sejarah manusia. Menurut Duncan MacRae (1976) analisis
kebijakan adalah sebagai suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
argumentasi rasional dengan menggunakan fakta-fakta untuk menjelaskan, menilai,
dan membuahkan pemikiran dalam rangka upaya memecahkan masalah publik
(Suryadi, dan Tilaar,1994: 40). Lebih lanjut Suryadi, dan Tilaar
menegaskan bahwa analisis kebijakan adalah sebagai suatu cara atau
prosedur dalam menggunakan pemahaman manusia terhadap sesuatu dan untuk
pemecahan masalah kebijakan.
Definisi
kerja analisis kebijakan menurut Dunn ialah suatu disiplin ilmu sosial terapan
yang menggunakan metode inquiri dan argumentasi berganda untuk menghasilkan dan
mendayagunakan informasi kebijakan yang sesuai dalam suatu proses pengambilan
keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan masalah kebijakan
(Suryadi, dan Tilaar (1994: 42). Berdasakan definisi di atas ada empat hal yang
terkandung dalam definisi tersebut:
1.
Sebagai ilmu sosial terapan, artinya suatu
hasil nyata dari suatu misi ilmu pengetahuan yang terlahir dari gerakan
profesionalisme ilmu-ilmu sosial.
2.
Menghasilkan dan mendayagunakan informasi,
ialah suatu bagian dari kegiatan analisis kebijakan yaitu pengumpulan,
pengolahan, dan pendayagunaan data agar menjadi masukan yang berguna bagi para
pembuat keputusan.
3.
Menggunakan “metode inquiri” dan argumentasi
berganda, ialah penggunaan jenis-jenis metode dan teknik dalam analisis
kebijakan seperti metode yang sifatnya deskriftif, metode yang sifatnya
preskriftif, metode yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif.
Penggunaan metode tersebut sangat tergantung pada sifat isu kebijakan yang
sedang disoroti.
4.
pengambilan keputusan yang bersifat politis,
ialah suatu proses pendayagunaan informasi didalam proses pembuatan kebijakan
publik.
Sementara itu
menurut Penelaahan Sektor Pendidikan (PSP: 1986) analisis kebijakan
adalah suatu proses yang dapat menghasilkan informasi teknis sebagai
salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan yang didukung
oleh informasi teknis. Informasi teknis itu merupakan suatu satuan pernyataan
kebenaran induktif yang didukung oleh kebenaran secara empiris sebagai hasil
dari rangkaian analisis data.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa analisis kebijakan pendidikan adalah
prosedur untuk menghasilkan informasi kependidikan, dengan menggunakan data
sebagai salah satu masukan bagi perumusan beberapa alternatif kebijakan
dalam pengambilan keputusan yang bersifat politis dalam rangka memecahkan
masalah kependidikan.
Analisis
kebijakan tidak semata-mata melakakan analisis terhadap data dan informasi,
akan tetapi memperhatikan seluruh aspek yang menyangkut proses pembuatan suatu
kebijakan, mulai dari analisis terhadap masalahanya, pengumpulan iniformasi,
analisis, penentuan alternatif kebijakan, sampai kepada penyampaian alternatif
tersebut terhadap para pembuat keputusan. Rumusan alternatif kebijakan yang
dihasilkan dari suatu proses analisis kebijakan ini tidak dengan sendirinya
atau secara langsung dapat dijadikan suatu kebijakan. Jika rumusan
kebijakan ini sudah didukung oleh suatu kekuatan otoritas, alternatif, maka
alternatif kebijakan itu sendiri akan berubah menjadi suatu kebijakan. Jadi
prosedur yang dapat menghasilkan alternatif kebijakan merupakan proses rasional.
Sedangkan terjadinya kebijakan itu sendiri merupakan proses politik.
Pemisahan
proses yang rasional dengan proses politik dalam pengambilan kebijakan kurang
menggambarkan keadaan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Dalam kenyataan,
banyak dijumpai bahwa proses yang rasional dalam analisis kebijakan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari proses politik itu sendiri. Proses yang
rasional empiris dalam analisis kebijakan tersebut sering digunakan sebagai
alasan dasar dalam suatu perjuangan politik dari salah satu kepentingan.
Mungkin juga sebaliknya, proses politik merupakan salah satu bentuk proses
rasional karena politik berbicara mengenai kepentingan masyarakat banyak.
2. Pendidikan Tinggi
Pada dasarnya pengertian pendidikan
(UU. SISDIKNAS No.20 tahun 2003) adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Perguruan
tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan untuk
mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademis dan profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan
menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan kesenian (UU. No. 2 tahun 1989,
pasal 16, ayat (1)
Pendidikan
tinggi adalah pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari pada pendidikan
menegah di jalur pendidikan sekolah (PP. No. 30 Tahun 1990, pasal 1 Ayat 1)
Menurut kamus Bahasa Indonesia Kata
pendidikan berasal dari kata ‘didik’ dan mendapat imbuhan ‘pe’ dan akhiran
‘an’, maka kata ini mempunyai arti proses atau cara atau perbuatan mendidik.
Secara bahasa definisi pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dari pengertian di atas turut
mengundang beberapa ahli untuk mengungkapkan pendapatnya, meliputi sebagai
berikut:
1. Pengertian
pendidikan menurut Prof. Dr. John Dewey
pendidikan
adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan adalah pertumbuhan, pendidikan
berarti membantu pertumbuhan batin tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan
ialah proses menyesuaikan pada tiap-tiap fase serta menambahkan kecakapan di
dalam perkembangan seseorang.
2.
Pengertian
pendidikan menurut Prof. H. Mahmud Yunus
pendidikan adalah usaha-usaha yang sengaja
dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak dengan tujuan peningkatan
keilmuan, jasmani dan akhlak sehingga secara bertahap dapat mengantarkan si
anak kepada tujuannya yang paling tinggi. Agar si anak hidup bahagia, serta
seluruh apa yang dilakukanya menjadi bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
3.
Pengertian
pendidikan menurut Prof. Herman H. Horn
Pendidikan adalah proses abadi dari penyesuaian
lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisk dan mental yang
bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar,
intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.
4.
Pengertian
pendidikan menurut M.J. Langeveld
Pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi
adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak
merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu
berlangsung.
B. Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan
Dalam
literatur analisis kebijakan, pendekatan dalam analisis kebijakan pada dasarnya
meliputi dua bagian besar, yaitu pedekatan deskriptif dan pendekatan normatif (
Suryadi, dan Tilaar, 1994: 46). Pendekatan deskriptif adalah suatu prosedur
atau cara yang digunakan oleh penelitian dalam ilmu pengetahuan (baik ilmu
pengetahuan murni maupun terapan).
Selanjutnya
Suryadi dan Tilaar, mengutip pendapat Cohn bahwa pendekatan deskriptif
ialah pendekatan positif yang diwujudkan dalam bentuk upaya ilmu pengetahuan
yang menyajikan suatu State of the Art atau keadaan apa adanya
yang sedang diteliti dan perlu diketahui oleh pemakai. Tujuan pendekatan
deskriptif ialah mengemukakan penafsiran yang benar secara ilmiah
mengenai gejala kemasyarakatan agar diperoleh kesepakatan umum mengenai suatu
permasalahan yang sedang disoroti. Dunn menambahkan satu pendekatan lagi
sejalan dengan pendekatan deskriptif yaitu pendekatan evaluatif, yaitu menerangkan
apa adanya tentang hasil dari suatu upaya yang dilakukan oleh suatu kegiatan
atau program.
Perbedaan
kedua pendekatan tersebut, adalah terletak pada penggunaan
kriteria. Pendekatan deskriptif menekankan atau pendekatan positif dimaksudkan
untuk menerangkan suatu gejala dalam keadaan tiada kriterinya, sebaliknya
pendekatan evaluatif dimaksudkan untuk menerapkan kriteria atas terjadinya
gejala tesebut. Contoh, meningkatnya mutu pendidikan ialah suatu gejala yang
dipersepsikan setelah diadakan pengukuran, dalam kaitannya dengan riteria mutu
pendidikan yang ditentukan sebelumnya. Dengan demikian pendekatan
evaluatif menekankan pada pengukuran sedangkan pendekatan deskriptif lebih
menekankan pada penafisiran terjadinya gejala bersangkutan.
Pendekatan
normatif yang sering juga disebut pendekatan perspektif merupakan upaya dalam
ilmu pemgetahuan untuk menawarkan suatu norma, kaidah, atau resep yang dapat
digunakan oleh pemakai dalam rangka memecahkan masalah. Tujuan pendekatan
ini ialah membantu mempermudah para pemakai hasil penelitian dalam menentukan
atau memilih salah satu dari beberapa pilihan cara atau prosedur yang paling
efisien dalam menangani atau memecahkan masalah.
Analisis
kebijakan pendidikan sebagai salah satu cabang ilmu sosial terapan juga menggunakan
pendekatan deskriptif dan pendekatan normatif. Pendekatan deskriptif
dimaksudkan untuk menyajikan informasi apa adanya kepada pengambil
keputusan. Tujuan dari pendekatan deskriptif dalam analisis kebijakan
pendidikan agar para pengambil keputusan memahami permasalahan yang sedang
disoroti dari suatu isu kebijakan. Pendekatan normatif dimaksudkan untuk
mebantu para pemgambil keputusan dalam bentuk pemikiran-pemikiran
mengenai cara atau prosedur yang paling efisien dalam memecahkan suatu masalah
kebijakan publik.
Dalam
analisis kebijakan, pendekatan deskriptif juga digunakan untuk meyajikan
informasi yang diperlukan oleh para pemakai informasi, khususnya para pengambil
keputusan, sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan, baik
berbentuk indikator kualitatif atau indikator kualitatif agar para pengambil
keputusan dapat membuat kesimpulan sendiri tampa bantuan dari analisis
kebijakan. Dari pemahaman itu diharapkan para pengambil keputusan dapat
melahirkan keputusan yang sesuai dengan keadaan dan masalahnya itu sendiri.
Bahkan dalam keadaan mendesak, biasanya para pemgambil keputusan lebih tertarik
dengan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari satuan-satuan informasi
daripada satuan informasinya itu sendiri.namun para analis kebijakan
menyediakan kedua-duanya, baik dalam bentuk sajian satuan-satuan informasi
maupun kesimpulannya.
Pendekatan
normatif dalam analisis kebijakan dimaksudkan untuk membantu para pengambil
keputusan dalam meberikan gagasan hasil pemikirang agar para pengambil keputusan
tersebut dapat memecahkan suatu kebijakan. Informasi yang normative atau
preskritif ini biasanya berbentuk alternatif kebijakan sebagai hasil dari
analisis data. Informasi jenis ini dihasilkan dari metodologi yang sepenuhnya
bersifat rasional yang sesuai, baik dengan argumentasi teoritis maupun data dan
informasi. Informasi yang bersifat normatif ini oleh Penelaah Sektor Pedidikan
dapat diperoleh dari Balitbang diknas, yang disebut “informasi teknis” karena
analisis data berdasarkan informasi yang berkaitan derngfan suatu isu kebijakan
yang sedang atau sedang disoroti. (Soetjipto, 1997: 22).
Pendekatan
deskriptif dan normatif ini hanyalah merupakan sebagian dari proses analisis
kebijakan dalam dimensi rasional. Para ahli seperti Patton, dan Sawacki, 1986;
Stokey dan Zekhouser, 1985 menyatakan bahwa bahwa analisis kebijakan hanya
meliputi dimensi rasional. Dunn (1981) berpendapat bahwa analisis kebijakan
meliputi seluruh dimensi rasional maupun politik (Suryadi, dan Tilaar, 1994:
48). Namun, sepanjang analisis kebijakan juga menggunakan pendekatan normatif
maka keseluruhan aspek yang berkaitan dengan pengambilan keputusan merupakan
subyek yang perlu dipelajari dalam analisis kebijakan. Sesuatu masalah
kebijakan publik, seperti pendidikan dapat dipandang secara multi
disipliner, baik secara politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Oleh karena
itu, proses politik dari analisis kebijakan merupakan proses yang diteliti di
dalam analisis kebijakan pendidikan.
C.
Paradigma
Metodologis Analisis Kebijakan
Secara
metodologis analisis kebijakan dapat dibedakan ke dalam dua tipologi yaitu
metodologi kualitatif dan kuantitatif. Menurut Suryadi, dan Tilaar (1994: 48)
bahwa hampir dapat dipastikan pendekatan dalam analisis kebijakan
seluruhnya bersifat kualitatif, karena analisis kebijakan pada dasarnya
merupakan suatu proses pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga dapat
melahirkan suatu gagasan dan pemikiran mengenai cara-cara pemecahannya. Masalah
kebijakan itu bersifat kualitatif karena proses pemahaman analisis kebijakan
itu penuh dengan pemikiran yang bersifat kualitatif.
Perbedaan
wawasan diantara para analisis kebijakan tidak semata-mata tidak disebabkan
oleh sifat dan jenis masalah kebijakan, tetapi cenderung lebih banyak
diakibatkan oleh cara pandang yang berlainan, atau sering disebut filsafat
pemikiran berlainan (Suryadi, 1994). Dengan demikian, perbedaan istilah
kualitatif dan kuantitatif tidak hanya sekedar dalam hal pendekatan dan teknik
analisi, tetapi lebih dari itu, menyangkut perbedaan dalam filsafat pemikiran
atau ideologi pemikiran. Misalnya, perbedaannya terletak pada
paradigma empirisme yang menggunakan metodologi kuantitatif dengan
cara-cara berpikir konvesional dalam ilmu-ilmu sosial. Sebagai salah satu
bentuk dari analycentrism, paradigma empirisme mencoba
melakukan koreksi terhadap cara-cara berpikir konvesional dari ilmu-ilmu sosial
yang bersifat kualitatif subyektif.
Metodologi
kuantitatif pada dasarnya merupakan bentuk yang lebih operasional dari
paradigma empirisme, yang sering juga disebut “kuantitatif-empiris”. Pada
dasarnya metodologi kuantitif lebih tertarik pada pengukuran terhadap masalah
kebijakan. Untuk dapat melakukan pengukuran secara obyektif, terlebih dahulu
dijabarkan beberapa komponen masalah, indikator, dan variabel-variabelnya.
Selanjutnya, setiap variabel diberikan simbol-simbol angka yang berbeda-beda
terhadap variabel yang sedang diukur. Dengan simbol-simbol angka ini,
teknik-teknik perhitungan secara kuantitatif-matematik dapat dilakukan sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan yang berlaku umum sebagai parameter (Basuki,
2006) Tujuan utama metodologi kuantitatif ini bukan menjelaskan suatu masalah,
tetapi menghasilkan suatu generaliasi. Generalisasi adalah suatu pernyataan
kebenaran yang terjadi dalam suatu realitas tentang suatu masalah (kebijakan)
yang diperkirakan berlaku pada suatu parameter populasi tertentu (Sugiono,
2005), yang berkaitan dengan analisis kebijakan. Untuk dapat menghasilkan
suatu generaliasi, analis kebijakan tidak perlu melakukan pengukuran terhadap
keadaan yang sebenarnya atau populasi. Generaliasi dapat dihasilkan melalui
metode perkiraan atau estimasi yang umum berlaku dalam statistik induktif.
Metode estimasi sendiri dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap keadaan
nyata yang lebih terbatas yang disebut “sample” dalam penelitian
kuantitatif. Jadi yang diukur dalam penelitian sebenarnya adalah bagian kecil
dari populasi yang biasa disebut “data”. Data inilah sebagai contoh nyata
dari kenyataan yang dapat diprediksikan dengan menggunakan metodologi
kuantitaif tertentu. Walaupun terdapat perbedaan antara metodologi kuantitaif
dengan kualitatif dalam analisis kebijakan pendidikan, namun dalam kenyataannya
kedua metodologi analisis kebijakan tersebut sering digunakan. Memang pada awal
perkembangannya, kedua metodologi tersebut dibentuk secara terpisah oleh
ideologi pemikiran yang berlainan, tetapi dalam perkembangan selanjutnya
pihak-pihak yang berpikir secara pragmatis cenderung tidak menaruh perhatian
terhadap perbedaan aliran pemikiran antara metodologi kualitatif dan
kuantitatif. Tetapi yang lebih penting, ialah tindakan yang perlu
dilakukan untuk mencapai suatu pemahaman terhadap masalah-masalah
kebijakan publik.
Oleh
karena itu perbedaan dalam metodologi kualitaif dan kuantitaif telah terjadi
hanya dalam teknik penelitian atau analisis dalam analisis kebijakan. Artinya
beberapa masalah kebijakan pendidikan mungkin dapat dipahami metodologi
kuantitatif, khususnya masalah-masalah yang bersifat makro dan umum. Akan
tetapi, beberapa masalah kebijakan publik mungkin tidak dapat dipahami hanya
dengan menggunakan metodologi kuantitatif karena sifatnya terlalu khusus
dan unik. Dalam keadaan demikian, metodologi kualitatif mungkin dapat dilakukan
dengan cara mempelajari permasalahan kebijakan publik secara kasus perkasus
karena permasalahan itu memerlukan pemecahan yang dilakukan secara kasus
perkasus pula.
D.
Prosedur
Analisis Kebijakan
Pembahasan
tentang metodologi dalam analisis kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan
pembahasan mengenai subtansi pendidikan itu sendiri. Prosedur kerja atau
metodologis analisis kebijakan pendidikan dapat dikelompokan ke dalam
tiga kategori besar. Pertama,fungsi alokasi, yang menekankan fungsi
analisis kebijakan dalam penentuan agenda analisis kebijakan (agenda setting
mechanism). Kedua, fungsi inquiri yang menekankan pada
fungsi analisis kebiajakan dalam dimensi rasional dalam rangka menghasilkan
informasi teknis yang berguna sebagai bahan masukan bagi proses pembuatan
keputusan pendidikan. Ketiga, fungsi komunikasi, yang
menekankan cara-cara atau prosedur yang efisien dalam rangka memasarkan
hasil-hasil kebijakan sehingga memiliki dampak yang berarti bagi proses
pembuatan keputusan (Suryadi, dan Tilaar, 1994: 55). Ketiga fungsi tersebut
merupakan suatu perangkat yang lengkap sehingga analisis kebijakan tidak akan
dapat mencapai sasaran jika salah satu fungsi atau lebih tidak dilakukan.
a)
Fungsi Alokasi
Salah satu fungsi penting yang perlu dimainkan
oleh kegiatan analisis kebijakan ialah mengalokasikan agenda penelitian,
pengembangan, dan analisis kebijakan itu sendiri yang didasarkan pada
kajian terhadap isu-isu kebijakan pendidikan dalam tingkatan yang lebih
makro dan strategis. Untuk melaksanakan fungsi penting ini analisis
kebijakan harus mampu melibatkan dari dalam, atau paling tidak
mempelajari tentang system dan proses pembuatan kebiajakn negara, baik dalam
tingkatan suprastruktur (politis) maupun dalam tingkat sektoral (teknis).
Kajian makro tidak akan terlepas dari
sistem-sistem lain yang menyangkut sistem ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya, dan hankamnas. Kajian makro merupakan analisis hubungan
timbal balik antara sistem pendidikan dengan sistem yang lebih besar.
Agar pendidikan memiliki kesesuaian dengan bidang-bidang kehidupan masyarakat,
maka perlu diciptakan suatu keadaan agar sistem pendidikan dapat
berkembang secara seimbang dengan perubahan dan perkembangan yang
terjadi di luar sistem lingkungannya.
Dari perkembangan-perkembangan tersebut, kajian
interdisipliner perlu dilakukan dengan jalan memetakan isu-isu kebijakan
pendidikan berdasarkan tuntutan dari berbagai bidang kehidupan diluar sistem
pendidikan. Langka selanjutnya adalah, dialog kebijakan (policy dialog) mengenai
isu-isu yang benar-benar telah teruji secara rasional empiris tersebut antara
analisis kebijakan dengan pihak pembuat kebijakan. Dialog tersebut dimaksudkan
agar diperoleh maksud mengenai urutan prioritas itu sendiri berdasarkan
pandangan para pembuat keputusan. Maksudnya adalah untuk mempertemukan antar
hasil penelitian dengan pandangan dengan para pembuat keputusan mengenai isu
kebijakan yang sedang atau diperkirakan akan dihadapi. Dalam menentukan
agenda penelitian yang tepat guna dan waktu, analisis kebijakan harus mampu
memilih berbagai isu kebijakan pendidikan dalam beberapa tingkatan. Menurut
Dunn, bahwa dalam melakukan isu kebijakan dikelompokan ke dalam dua
kategori besar, yaitu kebijakan stategis (strategis decision) dan
kebijakan taktis operasional (operasional tactical).
Dalam proses pembuatan keputusan di Indonesia,
isu-isu pendidikan dapat dikelempokan dalam tiga kategori, yaitu “isu
strategis-politis, isu teknis, dan isu operasional”. (Suryadi, dan Tilaar,
1994: 59). Isu “strategis-politis” bersifat sangat mendasar sehingga memiliki
pengaruh makro dan jangka panjang. (seperti RUU tentang sistem pendidikan).
Ruang lingkup isu-isu strategis-politis bersifat nasional dan lebih dirasakan
oleh para pimpinan dan para politikus. “Isu teknis” masih bersifat makro,
tetapi lebih berkaitan dengan bentuk-bentuk penerapannya dalam perencanaan dan
pengelolaan suatu kebijakan yang telah ditetapkan secara sektoral. Sedangkan
“Isu operasional” berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh para
perencana, pengelola, dan para pengelola program pendidikan sehari-hari dalam
implementasi suatu kebijakan.
b)
Fungsi Inquiri
Fungsi inquiri dapat dilakukan jika seluruh
atau sebagian agenda penelitian dan pengembangan sudah dilaksanakan dan sudah
mencapai hasil-hasilnya. Dalam fungsi inquiri setiap topik penelitian yang ada
merupakan komponen-komponen integral dari suatu isu kebijakan yang
strategis-politis sehingga hasil-hasil penelitian dan pengembangan juga akan
tersusun secara terorganisasi sesuai dengan isu-isu kebijakan strategis
yang sedang disoroti.
1.
Kajian Metodologi
dan Substansi
Dalam melaksanakan fungsi inquiri, kegiatan
analisis kebijakan melaksanakan kajian yang bersifat komprehensif terhadap
hasil-hasil penelitian dan pengembangan. Kajian tersebut bisa berbentuk kajian
metodologi dan bisa berbentuk kajian subtansi (Suryadi, dan Tilaar: 1994: 60).
a. “Kajian metodologi” dimaksudkan untuk memberi
umpan balik bagi para peneliti agar dicapai penyempurnaan metodologi dikemudian
hari.
b. “Kajian substansi” dimaksudkan untuk memperoleh
sintesis dari berbagai kelompok jenis penemuan penelitian dan pengembangan yang
sudah ada agar diperoleh usulan kebijakan yang lebih realistis berkaitan dengan
isu-isu kebijakan yang sudah diidentifikasikan sebelumnya.
2.
Argumentasi
Kebijakan
Kajian substansi dimaksudkan untuk menguji apakah
suatu gagasan cukup realistis. Untuk memperoleh usulan kebijakan yang diuji
kemungkinan penerapannya berdasarkan analisis ekonomi, politik, sosiologis, dan
administratif sehingga setiap gagasan pembaharuan benar-benar dapat
dilaksanakan sesuai dengan kondisi objektif yang ada.
1.
Analisis ekonomi dimaksudkan untuk melihat
apakah suatu gagasan kebijakan benar-benar dapat diterapkan terutama jika
dihubungkan dengan dukungan anggaran yang tersedia dan kemungkinan
kenaikan anggaran pendapatan negara masa depan.
2.
Analisis politis, dimaksudkan untuk menguji
suatu gagasan kebijakan apakah memiliki dukungan secara politis (seperti RUU
tentang sistem pendidikan nasional).
3.
Analisis sosiokultural, dimaksudkan untuk
melakukan kajian mengenai kemungkinan suatu kebijakan diterapkan dan bagaimana
pengaruhnya terhadap kehidupan budaya dan bermasyarakat.
4.
Analisis administratif, merupakan suatu cara
untuk menguji usulan gagasan kebijakan berdasarkan pertimbangan apakah
pertimbangan gagasan tersebut benar-benar dapat dijabarkan menjadi kegiatan
yang lebih operasional.
c)
Fungsi
Komunikasi
Fungsi komunikasi dapat dilaksanakan jika
analisis kebijakan telah menghasilkan berbagai gagasan atau usulan kebijakan
yang benar-benar realistis. Tugas analis kebijakan dalam hal ini ialah menyampaikan
alternatif atau gagasan kebijakan tersebut kepada semua fihak yang berhubungan
agar diperoleh suatu umpan balik megenai keabsahan gagasan-gagasan yang
diusulkan. Pihak-pihak tersebut terdiri dari pembuat keputusan, para perencana,
para pengelola, para peneliti dan pemikir, para pelaksana, serta masyarakat
luas.
1.
Komunikasi dengan para pembuat keputusan. Para
pembuat keputusan adalah para pimpinan atau eksekutif dalam satu organisasi
(Salusu: 2004: 44). Hal ini bertujuan untuk menyampaikan usul alternatif
kebijakan kepada para pembuat keputusan sekaligus meyakinkan mereka bahwa
alternatif kebijakan tersebut cukup realistis.
2.
Komunikasi dengan para perencana. Hal ini
dimaksudkan untuk meyakinkan mereka bahwa alternatif kebijakan ini sudah diuji
apakah realistis atau tidak.
3.
Komunikasi dengan para pelaksana kebijakan agar
pihak-pihak yang melaksanakan setiap satuan kegiatan di lapangan, mengetahui
tujuan utama dari yang mereka lakukan.
4.
Komunikasi dengan masyarakat luas, dengan dasar
pemikiran bahwa para pemimpin bangsa sekaligus para pembuat keputusan adalah
para pelaksana dari aspirasi masyarakat luas.
E.
Kebijakan Pokok
Pembangunan Pendidikan Tinggi
Program pembangunan pendidikan tinggi
bertujuan, pertama meningkatkann pemerataan dan perluasan akses bagi semua
warga Negara melalui program-program pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis, dan doctor, kedua meningkatknan mutu relevansi dan daya saing
pendidikan tinggi dalam rangka menjawab kebutuhan pasar kerja serta
pengembangan iptek untuk memberikan sumbangan secara optimal bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa, ketiga meningkatkan kinerja
perguruan tinggi dengan jalan meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan
akuntabilitas dalam pengelolaan layanan pendidikan tinggi secara otonom melalui
Badan Hukum Perguruan Tinggi (BHPT).
a.
Pemerataan Dan
Perluasan Akses
1.
Pemberian bantuan pembiayaan untuk kelompok
masyarakat miskin tetapi potensial agar dapat belajar di perguruan tinggi.
2.
Membangun kemitraan antara LPTK dengan sekolah,
untuk memeperluas kapasitas dalam menghasilkan guru yang dapat mencukupi.
3.
Pengembangan pembelajaran jarak jauh (distance
learning) di perguruan tinggi, dengan proyek percontohan pada empat
perguruan tinggi hingga tahun 2009 sekarang, yaitu UI, UNRI, UNDANA,
UNHAS. Deseminasi proyek ini akan dikembangkan pada UNLAM, UNM, UNHALU, UNCEN.
4.
Pemerataan perluasan akses pendidikan tinggi
mentargetkan pencapaian jumlah mahasiswa sebesar 4,5 juta tahun 2009, APK
diharapkan dapat ditingkatkan dari 14.62% pada tahun 2004 menjadi 18,00% pada
tahun 2009 (Diknas, 2006).
b.
Peningkatan
Mutu, Relevansi Dan Daya Saing
1.
Peningkatan pelayanan pendidikan, penelitian,
dan pengabdian pada masyarakat, sesuai tridarma perguruan tinggi.
2.
Pengembangan kurikulum dan pembelajaran efektif
dalam kelompok mata kuliah, iman dan takwa serta akhlak mulia, iptek, estetka,
serta kepribadian.
3.
Pengembangan community college, model
pendidikan kejuruan/vokasi yang fleksibel. Penyediaan tenaga terampil untuk
kebutuhan industri local, nasional dan multinasional, serta pngembangan
kewirausahaan.
4.
Target-target ayang ingin dicapai dalam
pelaksanaan program peningkatana mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan
tinggi adalah sebagai berikut:
1.
Peningkatan jumlah program stusi di perguruan
tinggi yang diakreditasi A dan B dari 1000 proGram studi pada tahun 2005
menjadi 3000 program studi pada tahun 2009. akan dikembangkan pula program
studi yang bertarap internasional.
2.
Penignkatan efektifitas waktu studi sehinga
kelulusan tepat waktu
3.
Mengupayakan untuk mencapai ratio keluaran
terhadap jumlah mahasiswa (enrollment) secara keseluruhan menjadi 20%.
4.
Lama waktu menunggu setelah lulus pada keahlian
tertentu dapat dipersingkat 6 bulan, mencapai 40%.
5.
Peningkatan kualitas daya saing di tingakt asia
4 perguruan tingi masuk 100 besar dan 500 besar perguruan tinggi dunia.
6.
Peningkatan status perguruan tinggi negeri
menjadi 50% yang berbadan humum tahun 2009, dan 40% pergruan tinggi swasta.
7.
Penataan proporsi bidang ilmu IPA :
IPS/Hunaniora yang pada tahun 2004 berbanding sebagai 30 : 70, dupayakan untuk
tahun 2009 menjadi (50 : 50). Untuk PTN dan (35:65) untuk PTS.
8.
Peningkatan kualifikasi dosen berpendidikan
S2/S3 yang baru mencapai 54,55% untuk PTN dan 34,50%, untuk PTS pada tahun
2004, menjadi 85% untuk PTN dan 55% untuk PTS pada tahun 2009. Disamping
itu jumlah guru besar yang baru mencapai 3% pada tahun 2004, diupayalan dapat
mencapai 10% dari jumlah dosen yang ada pada PTN pada tahun 2009.
9.
Pelatihan tenaga teknis di perguruan tingi pada
jangka waktu 5 tahun kedepan diupayakan mencpai 100 jenis pelatrihan
fungsional, yang menjangkau 7.500 personil pendidikan tinggi dengan rincian 70%
dari PTN dan 30%dari PTS.
10.
Pelaksanaan penelitian untuk 5 tahun kedepan
mencapai 10% dari seluruh anggaran ditjen Dikti.
11.
ICT literacy (kemampuan akses, memanfaatkan dan
menggunakan radio, televise, computer dan internet) 80% untuk kalangan
mahasiswa dan dosen.
12.
Pembangunan dAn penambahaRUAN infrastruktuR
pendidikan tinggi sehingga tercapai pemenuhan criteria rastio tung kuliah 2m2 permahasiswa,
ratio ruang laboratorium 9 m2 permahasiswa, ruang dosen 9 m2 per
dosen.
13.
Peningkatan kapasiatas dan efektifitas layanan
perpustakaan mencapai 80% dari mata kuliah yang ditawarkan perguruan tinggi,
dan layanan kepustakaan mencapai 40 jam per minggu. (Diknas: 2006).
c.
Penguatan Tata
Kelola, Akuntabilitas dan Pencitraan public
Program
peningkatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan public akan dilaksanakan
melalui penyusunan perangkat hukum operasional dalam pengembangan perguruan
tinggi untuk mencapai status BHPT, sebagai perguruan tinggi otonom dan
akuntabel, serta bersifat nirlaba. Ditargetkan sebanyak 50% PTN dan
40% PTS akan berstatus BHPT pada tahun 2009. penyelenggaraan pendidikan tinggi
perlu mengembangkan vitalisasi internal audit. Salah satu manfaat yang akan
diperoleh dengan model BHPT adalah terbangunnya kelembagaan yang lebih kondusif
untuk menciptakan keterbukaan pengelolaan, sehingga manjadi lebih transparan
dan akuntabel. Kondisi ini akan mendorong peningkatan partisiasi melalui pembiyaan,
control dan pengelolaan. Peningakatan kapasitas satuan perguruan tinggi
dilakukan melalui berbagai program hibah kompetisi, program kemitraan, hibah
penelitian, P3AI. Peningkatan kapasitas pengelolaan akan ditunjang dengan
penerapan ICT.
Berdasarkan
kebijakan pokok pembangunan pendidikan di atas maka dapat dikatakan bahwa
perguruan tingi ke depan memiliki tantangan yang semakin berat. Terutama dalam
peningkatan kualitas serta relevansi dengan kebutuhan lapangan kerja.
Pembangunan bidang pendidikan tinggi berdasarkan peraturan pemerintah nomor 19
tahun 2005 tentang standarisasi nasional pendidikan memiliki sejumlah indicator
yang harus dipenuhi jika tidak ingin perguruan tinggi tersebut itu
ditinggalkan. Standar tersebut meliputi, standard isi, standar proses, standar
keompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana,
standar pengelolaan, serta standar penilaian pendidikan Pendidikan tinggi
perlu melakukan reformasi manejmen agar dapat bersaing dengan perguruan tingi
lain yang lebih maju. STAIN Kendari sebagai salah satu lembaga pendidikan
tinggi Islam perlu melakukan reformasi manajemen untuk meningkatkan mutu dan
kulaitas kelembagaan agar berdaya saing global. Peningkatan status menjadi
Institut/Universitas merupakan satu alternative tersebut, jika tidak akan
mengalami ketinggalan, bahkan likuidasi atau marjer dengan perguruan tinggi
lain.
Beberapa
contoh analisis kebijakan dalam bidang pendidikan nasional yang telah
dirumuskan dalan rencana strategis pembangunan bidang pendidikan nasional tahun
2005-2009. dan tahun 2010-2025. Kebijakan strategis pengembangan bidang
pendidikan nasional 2005-2009 dengan tema “Peningkatan Kapasitas dan
Modernisasi”. Tema ini melahirkan tiga kebijakan utama dalam
pengembangan pendidikan nasional yaitu. (1) Pemerataan dan perluasan akses
pendidikan, (2) Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, (3) serta
penguatan pengelolaan, akuntabilitas dan pencitraan publik (Depdiknas, 2006:
9).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Analisis kebijakan pendidikan adalah suatu
disiplin ilmu yang berusaha menghasilkan dan mendayagunakan informasi dengan
metode tertentu, sesuai kebijakan yang disoroti, dan berhubungan dengan
pengambilan keputusan politik dalam proses pembuatan keputusan publik.
2.
Pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jenjang
yang lebih tinggi dari pada pendidikan menegah di jalur pendidikan sekolah
3.
Metodologi analisis kebijakan pendidikan
terdiri atas dua bagian, yaitu metodologi kualitatif dan kuantitatif.
4.
Prosedur analisis kebijakan dikelompokan ketiga
kategori besar, yaitu fungsi lokasi, fungsi inquiri, fungsi komunikasi.
Ketiga fungsi tersebut merupakan perangkat yang tidak dapat
terpisahkan guna mencapai sasaran yang diinginkan.
5.
Kebijakan strategis dalam pengembangan
pendidikan nasional kaitannya dengan analisis kebijakan pendidikan saat ini
terfokus pada tiga persoalan pokok, yaitu (1) pemerataan dan perluasan
akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing, (3)
penguatan pengelolaan, akuntabilitas, dan pencitraan public.
B.
Saran
Undang -Undang, peraturan, dan kebijakan
pemerintah tentang pendidikan tentunya menimbulkan pro dan kontra. Kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah sebenarnya menjadi indikator bahwa masyarakat saat
ini cenderung lebih dinamis karena lebih terbuka menerima perbedaan. Selain itu,
hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya pendidikan banyak mengalami
problematika yang harus di cari jawabannya secara proporsional sehingga tidak
akan menimbulkan masalah-masalah baru.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, Sulistiyo, 2006, Metode Penelitian, Jakarta, Wedatama Widya Sastra.
Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Ringkasan
Eksekutif Renstra, Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang
20025, Versi Revisi, Jakarta. Depdiknas.
Departemen Pendidikan Nasional, 2006, Rencanan
Strategis Pendidikan Nasional tahun 2005-2009, Jakarta, Depdiknas
Salusu, 2004, Pengambilan Keputusan
Stratejik, Untuk Organisasi Publik dan Nonprofit, Jakart: Gramedia.
Sekretarian Jenderal, Departemen Agama RI,
2007, Teknik Penyusunan Perencanaan Kinerja Di Lingkungan Depag, Jakarta.
_______, 2007, Teknik Pengukuran
Kinerja di Lingkungan Deparetemen Agama, Depag, Jakarta.
_______, 2007, Akuntabilitas dan Good
Governance, Depag, Jakarta,
_______, 2007, Teknik Evaluasi Laporan
Akuntabilitas Kinerja di Lingkungan Departemen Agama, Depag, Jakarta.
Suryadi, Aceh dan H.A.R. Tilaar, 1994, Analisis
Kebijakan Pendidikan , Sebuah Pengantar, Bandung: Rosdakarya.
Sulistiyo- Basuki, 2006, Metode
Penelitian, Jakarta, Wedatama Widya Sastra.
Sugiono, 2005, Metododlogi Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif R&B, Jakarta, Al Fabeta.
Soetjipto, 1997, Analisis Kebijakan
Pendidikan Pendidikan, Suatu Pengantar, Jakarta: Depdikbud.
Tilaar, 1998, Manajemen Pendidikan
Nasional, Kajian Pendidikan Masa Depan, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Komentar
Posting Komentar
Add a comment....